Oleh. Yuria Ekalitani, C.Ht, MT.OEI, M.Si, M.Psi (Cand)
Konsep pendidikan yang membebaskan diusung
oleh Paulo Freire [1].
Di Indonesia, relevansi pendidikan pembebasan Paulo bukan semata karena ada
kebutuhan akan evaluasi dan refleksi terhadap penerapannya selama ini tetapi
juga pada kenyataan bahwa konsep pendidikannya ini masih marjinal dalam sistem
pendidikan Indonesia . Konsep pendidikan “ gaya bank “ , metode “ hadap masalah
“, “ kontradiksi guru-murid “ yang merupakan problem elementer sekaligus klasik
dalam konsep pendidikan freirean masih sangat asing dan banyak disalahartikan.
Oleh sebab itu, muncul beberapa pertanyaan yang menarik untuk mengetahui lebih
lanjut bagaimana sebenarnya sistem pendidikan yang membebaskan tersebut.
Bagaimana sebenarnya pembelajaran yang membebaskan itu? Bagaimana seorang
pendamping harus mengubah dirinya menjadi pendidik yang membebaskan? Bagaimana
mereka dapat mentransformasikan peserta didik?
Pada pendidikan yang membebaskan, tidak ada
teknis khusus untuk memperoleh keaksaraan, pengalaman atau keterampilan
professional atau bahkan kemampuan berpikir kritis. Yang terpenting adalah
membangun pendidikan dialogis yang akan mampu membuat seseorang untuk tahu dan
bukan semata-mata pengalihan pengetahuan atau semata-mata teknik menguasai alfabet.
Pengajaran yang membebaskan akan mencerahkan realitas dalam pengertian
mengembangkan kerja intelektual yang serius[2] sehingga
dengan kata lain, pendidikan yang membebaskan bukan panduan atau teknik cerdas
melainkan suatu perspektif cerdas tentang sekolah, masyarakat dan belajar untuk
transformasi sosial. Pendidikan yang membebaskan adalah situasi dimana guru dan
siswa sama-sama harus belajar, sama-sama memiliki subyek kognitif, selain juga
sama-sama memiliki perbedaan.
Para pendamping di CAC yang kemudian kami
sebut sebagai caregiver setidaknya memiliki kesempatan untuk
menerapkan pola pendidikan yang membebaskan. Berbeda dari sekolah-sekolah
formal dimana guru dan siswa hanya mempunyai sedikit peluang untuk membangun
kelas yang membebaskan. Program pelatihan di sekolah formal biasanya
tradisional dan jarang melakukan eksperimen-eksperimen. Padahal dengan model
eksperimen, anak akan didorong untuk dapat belajar secara experience
learning[3] atau belajar dari pengalaman. Metode
ini dianggap sebagai metode yang akan menyenangkan bagi anak-anak putus sekolah
yang berkegiatan di CAC karena dengan metode experience learning,
anak-anak ini akan diajak untuk belajar sambil mempraktekkan sesuatu dan
mengambil pelajaran yang bermakna dari yang sudah mereka lakukan.
Hal senada diungkapkan pula oleh John Dewey (
1859 – 1952 ), seorang pakar pendidikan sekaligus folosof yang menggagas
pengalaman sebagai basis pendidikan. Pengalaman menurut Dewey merupakan
keseluruhan kegiatan dan hasil yang kompleks serta bersegi banyak dari
interaksi aktif manusia sebagai makhluk hidup yang sadar dan bertumbuh dengan
lingkungan di sekitarnya yang terus berubah dalam perjalanan sejarah. Selaras
pula dengan pandangan pragmatis pada umumnya, bagi Dewey, subyek didik
bukanlah pribadi yang pasif. Ia adalah manusia, mahkluk hidup yang bertumbuh kembang
dengan dan dalam interaksi secara aktif terhadap lingkungan hidup di
sekitarnya. Sehingga dalam kaitannya dengan pendidikan, Dewey menyebutkan bahwa
pendidikan merupakan suatu proses penggalian dan pengolahan pengalaman terus
menerus. Untuk itu, pendidikan mesti berpusat pada kondisi konkret subyek didik
dengan minat, bakat dan kemampuannya serta peka terhadap perubahan yang terus
menerus terjadi dalam masyarakat. Pendidik haruslah senantiasa siap sedia
dengan metode yang selalu disesuaikan dengan perubahan jaman. [4]
Selama
ini yang masih sering terjadi di Indonesia adalah teknik mengajar dengan
ceramah. Metode ceramah menjadikan pendamping sebagai otoritas yang mengalihkan
pengetahuan yang tetap kepada siswa. Pengetahuan telah dibentuk dan secara
verbal disampaikan kepada siswa. Para siswa dalam system pendidikan tradisional
diharapkan mampu menyerap formulasi yang telah disusun dan diucapkan oleh guru. Sebaliknya
keterbukaan pendamping secara dialogis akan mampu menjadikan proses belajar
yang demokratis. Sistem demokratis ini merupakan sistem yang
membebaskan dibandingkan gaya tradisional. Sistem ini juga yang kemudian coba
untuk diterapkan dalam pola pendampingan di CAC, dimana anak-anak putus sekolah
yang menjadi target recipient untuk program ini membangun
komunikasi dan dialog yang mengembangkan melalui kurikulum yang telah disusun
sendiri oleh para caregiver untuk melaksanakan kegiatan yang
dilakukan seminggu dua kali akan tetapi sekaligus sebagai panduan yang tidak
bersifat kaku untuk diterapkan. Sistem pendidikan yang seperti ini diharapkan
mampu menarik minat anak-anak untuk belajar keterampilan hidup ( life
skill ) dengan harapan akan mampu membekali mereka dengan keterampilan
untuk bertahan hidup dan tujuan lebih jangka panjangnya adalah untuk mampu
memutuskan lingkaran kemiskinan terutama di daerah-daerah yang masih minim
kualitas pendidikannya.
DAFTAR
PUSTAKA
[1] Tokoh pendidikan.
Bukunya Paedagogy of The Oppressed telah menjadi bacaan
klasik. Di Indonesia konsep pendidikannya terutama banyak diterapkan di
kalangan NGO.
[2] Shor, Ira &
Freire, Paulo. Pedagogy for Liberation. 1987. Bergin & Gavery Publiser,
Inc : Massachusetts.p.21. Bedakan terjemahan buku tersebut yang diterbitkan
tahun 2001 dengan judul ‘ Menjadi Guru Merdeka “ penerbit LKiS, Yogyakarta.
[3] Model experiential
learning ini yang juga kemudian diterapkan dalam sistem pendidikan bagi
anak-anak putus sekolah di CAC. Model ini akan mampu menarik minat mereka untuk
belajar dibandingkan dengan belajar melalui metode tradisional di sekolah
karena anak-anak diajak untuk belajar sambil bermain.
[4] Dewey,
John. Experience and Education : Pendidikan berbasis
pengalaman.Alih Bahasa : Hani,ah. 2004.Mizan Media Utama : Bandung. Hal. 9 –
18.
No comments:
Post a Comment