Misericordia Child & Family Development Center

Misericordia Child & Family Development Center

Saturday, September 28, 2013

Anak Mengalami Gangguan Belajar : Sensory Integrasikah Solusinya?

Oleh. Julia Maria Van Tiel

Sungguh sangat menarik perkembangan di Indonesia di akhir-akhir ini. Setiap acara diskusi dimanapun, aku dihadapkan pada pertanyaan akan kenyataan bahwa anaknya diminta terapi sensori integrasi. Apapun itu, mulai dari terlambat bicara, ADHD, autisme, global development delayed, sampai masalah-masalah gangguan belajar.

Bahkan, suatu kali jalan-jalan di suatu rumah sakit besaaar sekali di bilangan Jakarta, mata saya tertumbuk pada papan nama seorang dokter spesialis rehabmedik dengan penjelasan: Merehabilitasi gangguan anak: membaca, menulis, dan berhitung.

Sungguh hati saya terenyuh luar biasa, ini rakyatku Indonesia jelas tengah dipermainkan oleh (terus terang) kelompok yang benar-benar sudah melenceng.

Kuambilkan contoh:
Seorang ibu bercerita padaku bahwa anaknya yang belum bicara itu sungguh sangat aktif, banyak gerak dan kelihatan seolah gangguan konsentrasi. Anak dianjurkan tidak terapi wicara tetapi terapi Sensory Integration sampai anak bisa konsentrasi. Kutanya pada ibu itu, sampai kapan? Kalau anak itu ternyata memang gangguan konsentrasi karena ADHD yang notabene adalah cacat neurologis maka sampai kapan ia mampu konsentrasi dengan baik? Si Ibu terpana melihatku....

Suatu malam aku diundang sebuah diskusi yang sungguh berat, yang antara lain menyatakan bahwa masalah-masalah gangguan di otak memang sel-selnya tidak dapat diperbaiki lagi, tetapi dapat disubstitusi dengan memperbaiki masalah sensorinya, sehingga si anak dapat belajar. 
Oo wat een wanderfull world!!!

Informasi yang masuk ke otak memang melalui organ sensoris dibantu oleh kemampuan motoris. Tetapi proses belajar bukan cuma itu. Masih banyak perangkat lain di otak yang harus digunakan dalam suatu proses belajar, yaitu kemampuan memori yang baik, baik memori yang jangka panjang dan jangka pendek. Kemampuan pengintegrasian informasi yang masuk lalu diproses menjadi sebuah informasi baru yang dapat menjadi bahan perluasan informasi yang berada di dalam memori. Kemampuan pemaknaan informasi yang masuk dari sensori baik visual, auditori dan taktil, pengecapan dan penciuman, dibumbui dengan kemampuan dimensi, menjadi suatu informasi baru yang mempunyai kedalaman persfektif dan pemecahan masalah. Hemisfer atau belahan otak kiri dan kanan akan membantu mengolah dengan cara melakukan pemrosesan informasi dalam bentuk analisa (menguraikan informasi) maupun sintesa (memadukan informasi). Otak akan menyampaikan bentuk informasi baru tadi ke dalam memori jangka panjang dan mengolahnya menjadi suatu bentuk pemecahan masalah.
Dalam hal ini si individu juga perlu dibekali dengan perkembangan kemampuan kreativitas berfikir, sehingga semua info yang masuk tadi dapat berkembang sesuai dengan konteksnya. 
Dalam proses ini faktor konsentrasi, intuisi, kecepatan berpikir, dan emosi akan juga senantiasa membantu. 

Hal di atas ini adalah dasar manusia dalam proses belajar. Sehingga apabila gangguan sensori dan motor yang diperbaiki, namun apabila masih ada gangguan di otak – jelas proses belajar tetap tidak dapat berlangsung dengan baik.

Masalah gangguan sensorik dan motorik memang dapat menjadi masalah dalam proses belajar. Karena sensorik dan motorik adalah salah satu komponen yang mendukung pembelajaran, tetapi bukan masalah primer dalam gangguan belajar. Masalah primer pada gangguan belajar adalah gangguan neurologis di otak itu sendiri, yang hingga kini para ahli belum bisa menjelaskan bagaimana mekanismenya. 
Cara-cara pendeteksian dan pengukurannya juga masih menggunakan tes-tes didaktik, bukan tes-tes objektif dengan penciteraan otak misalnya.

Pada semua anak berkekhususan memang akan diikuti dengan masalah sensorik dan motorik (Senso-motor). Tetapi gangguan senso-motor yang menyebabkan gangguan pada sensory integration (sering disebut Sensory Integration Disorder), bukan entity sebuah diagnosa, tetapi adalah gangguan yang menyertai (komorbiditas) gangguan-gangguan ataupun masalah perkembangan neurologik seperti misalnya: dysphasia/speech delayed, ADHD, autisme, learning disabilities, dlsb.
Sehingga dalam hal ini yang menjadi masalah primernya adalah diagnosanya itu, bukan gangguan yang menyertainya/komorbiditas (senso-motor).

Dengan demikian, andaikan hanya dengan senso-motor diperbaiki dengan sendirinya tidak dapat mengatasi masalah-masalah yang diakibatkan oleh adanya gangguan neurologis tadi. Juga perbaikan sensori-motor tidak mungkin dapat mensubtitusi atau mengganti proses pembelajaran yang terhambat akibat adanya gangguan neurologis itu.

Kita ambilkan contoh pada autisme. Autisme adalah sosok yang mengalami masalah dalam kemampuan bahasa non-verbal, keterbatasan kreativitas berpikir – sehingga ia mengalami gangguan konteks (contexblindness) yang berakibat pada masalah dalam proses bejalar pemecahan masalah. Akibatnya adalah sekalipun senso-motor diperbaiki tetapi masalah autismenya masih ada, dengan demikian ia juga akan tetap mengalami gangguan belajar. 

Masalah sensorik dan motorik memang harus kita upayakan – diperbaiki. Tapi jangan mengharap masalah senso-motor ini akan hilang. Yang hanya bisa kita upayakan adalah mengajarkan bagaimana sensor dan motor bekerja, mengurangi sensitivitas dengan mengajarkan bagaimana mengahadapi hal-hal yang mengganggunya itu. Sehingga ia akan menjadi lebih trampil, sekalipun masalah senso motor dan gangguan belajarnya masih ada karena gangguan neurologisnya memang merupakan long live disabilities.

LD (learning disabilities: disleksia, disgrafia, diskalkulia) adalah gangguan neurologis yang primer dan ekslusif (tidak menyebabkan gangguan gangguan lain dan bukan disebabkan oleh gangguan lain). Pada anak-anak yang mengalami gangguan perilaku dan mental yang disebabkan karena gangguan neurologis akan juga diikuti LD sebagai gangguan yang mengikutinya (komorbiditas). 

(Catatan: pernyataan saya bukan menghantam Profesi Okupasi – tetapi Profesi Okupasi hendaknya juga memerangi orang-orang yang memanfaatkan bidang garapannya secara tidak benar!).


2 comments:

  1. Terima kasih tulisannya bu Yuria, anak saya berumur 2 th , sebulan kmrn divonis ADHD bu oleh dr rehabilitasi medik di yogyakarta, diresepkan untuk OT dan TW , alhamdulilah Tuhan mengirim pesan lewat parent yg sedang menunggu dokter juga , dia menyarankan untuk melakukan neuro senso di griya fisio bunda novy di daerah sleman yogya. Ini sudah 6 kali fisio bu, alhamdulilah anak saya udah bisa jalan biasanya larii. Penjelasan yg di berikan oleh bunda Novy sama persis yg seperti bu yuria bilang. Oleh karenanya anak saya belom disarankan untuk OT ato TW lebih dahulu, tetapi lanjut neuro senso 6 kali lagi.
    Semoga tulisan2 bu yuria banyak menginspirasi orang banyak ya bu
    selalu berkah
    amin

    ReplyDelete
  2. Terima kasih tulisannya bu Yuria, anak saya berumur 2 th , sebulan kmrn divonis ADHD bu oleh dr rehabilitasi medik di yogyakarta, diresepkan untuk OT dan TW , alhamdulilah Tuhan mengirim pesan lewat parent yg sedang menunggu dokter juga , dia menyarankan untuk melakukan neuro senso di griya fisio bunda novy di daerah sleman yogya. Ini sudah 6 kali fisio bu, alhamdulilah anak saya udah bisa jalan biasanya larii. Penjelasan yg di berikan oleh bunda Novy sama persis yg seperti bu yuria bilang. Oleh karenanya anak saya belom disarankan untuk OT ato TW lebih dahulu, tetapi lanjut neuro senso 6 kali lagi.
    Semoga tulisan2 bu yuria banyak menginspirasi orang banyak ya bu
    selalu berkah
    amin

    ReplyDelete