Misericordia Child & Family Development Center

Misericordia Child & Family Development Center

Sunday, September 29, 2013

1 ONS bukan 100 Gram – Pendidikan yang Menjadi Boomerang

imagesSeorang teman saya yang bekerja pada sebuah perusahaan asing, di PHK akhir tahun lalu. Penyebabnya adalah kesalahan menerapkan dosis pengolahan limbah, yang telah berlangsung bertahun-tahun. Kesalahan ini terkuak ketika seorang pakar limbah dari suatu negara Eropa mengawasi secara langsung proses pengolahan limbah yang selama itu dianggap selalu gagal. Pasalnya adalah, takaran timbang yang dipakai dalam buku petunjuknya menggunakan satuan pound dan ounce. Kesalahan fatal muncul karena yang

bersangkutan mengartikan 1 pound = 0,5 kg. dan 1 ounce (ons) = 100 gram,
sesuai pelajaran yang ia terima dari sekolah. Sebelum PHK dijatuhkan,
teman saya diberi tenggang waktu 7 hari untuk membela diri dgn. cara
menunjukkanacuan ilmiah yang menyatakan 1 ounce (ons) = 100 g. Usaha maksimum yang dilakukan hanya bisa menunjukkan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang
mengartikan ons (bukan ditulis ounce) adalah satuan berat senilai 1/10
kilogram. Acuan lain termasuk tabel-tabel konversi yang berlaku sah atau
dikenal secara internasional tidak bisa ditemukan.
SALAH KAPRAH YANG TURUN-TEMURUN.
Prihatin dan penasaran atas kasus diatas, saya mencoba menanyakan hal ini
kepada lembaga yang paling berwenang atas sistem takar-timbang dan ukur di
Indonesia, yaitu Direktorat Metrologi . Ternyata, pihak Dir. Metrologi-pun
telah lama melarang pemakaian satuan ons untuk ekivalen 100 gram. Mereka
justru mengharuskan pemakaian satuan yang termasuk dalam Sistem
Internasional (metrik) yang diberlakukan resmi di Indonesia. Untuk ukuran
berat, satuannya adalah gram dan kelipatannya. Satuan Ons bukanlah bagian
dari sistem metrik ini dan untuk menghilangkan kebiasaan memakai satuan
ons ini, Direktorat Metrologi sejak lama telah memusnahkan semua anak
timbangan (bandul atau timbal) yang bertulisan “ons” dan “pound”.
Lepas dari adanya kebiasaan kita mengatakan 1 ons = 100 gram dan 1 pound =
500 gram,ternyata tidak pernah ada acuan sistem takar-timbang legal atau
pengakuan internasional atas satuan ons yang nilainya setara dengan 100
gram. Dan dalam sistem timbangan legal yang diakui dunia internasional,
tidak pernah dikenal adanya satuan ONS khusus Indonesia. Jadi, hal ini
adalah suatu kesalahan yang diwariskan turun-temurun. Sampai kapan mau
dipertahankan ?
BAGAIMANA KESALAHAN DIAJARKAN SECARA RESMI ?
Saya sendiri pernah menerima pengajaran salah ini ketika masih di bangku
sekolah dasar. Namun, ketika saya memasuki dunia kerja nyata, kebiasaan
salah yang nyata-nyata diajarkan itu harus dibuang jauh karena akan
menyesatkan. Beberapa sekolah telah saya datangi untuk melihat sejauh mana
penyadaran akan penggunaan sistem takar-timbang yang benar dan sah dikemas
dalam materi pelajaran secara benar, dan bagaimana para murid (anak-anak kita)
menerapkan dalam hidup sehari-hari. Sungguh memprihatinkan. Semua sekolah
mengajarkan bahwa 1 ons = 100 gram dan 1 pound = 500 gram, dan anak-anak
kita pun menggunakannya dalam kegiatan sehari-hari. “Racun” ini sudah
tertanam didalam otak anak kita sejak usia dini.
Dari para guru, saya mendapatkan penjelasan bahwa semua buku pegangan yang
diwajibkan atau disarankan oleh Departemen Pendidikan Indonesia
mengajarkan seperti itu. Karena itu, tidaklah mungkin bagi para guru untuk
melakukan koreksi selama Dep. Pendidikan belum merubah atau memberi-kan
petunjuk resmi.
TANGGUNG JAWAB SIAPA ?
Maka, bila terjadi kasus-kasus serupa diatas, Departemen Pendidikan kita
jangan lepas tangan. Tunjukkanlah kepada masyarakat kita terutama kepada
para guru yang mengajarkan kesalahan ini, salah satu alasannya agar tidak
menjadi beban psikologis bagi mereka ; “acuan sistem timbang legal yang
mana yang pernah diakui / diberlakukan secara internasional, yang
menyatakan bahwa 1 ons adalah 100 gram, 1 pound adalah 500 gram.”?
Kalau Dep. Pendidikan tidak bisa menunjukkan acuannya, mengapa hal ini
diajarkan secara resmi di sekolah sampai sekarang ? Pernahkan Dep.
Pendidikan menelusuri, dinegara mana saja selain Indonesia berlaku
konversi 1 ons = 100 gram dan 1 pound = 500 gram ? Patut dipertanyakan
pula, bagaimana tanggung jawab para penerbit buku pegangan sekolah yng
melestarikan kesalahan ini ?
Kalau Dep. Pendidikan mau mempertahankan satuan ons yang keliru ini,
sementara pemerintah sendiri melalui Direktorat Metrologi melarang
pemakaian satuan “ons” dalam transaksi legal, maka konsekwensinya ialah
harus dibuat sistem baru timbangan Indonesia (versi Depdiknas). Sistem
baru inipun harus diakui lebih dulu oleh dunia internasional sebelum
diajarkan kepada anak-anak. Perlukah adanya sistem timbangan Indonesia
yang konversinya adalah 1 ons (Depdiknas) = 100 gram dan 1 pound
(Depdiknas) = 500 gram. ? Bagaimana “Ons dan Pound (Depdiknas)” ini
dimasukkan dalam sistem metrik yang sudah baku diseluruh dunia ? Siapa
yang mau pakai ?.
HENTIKAN SEGERA KESALAHAN INI
Contoh kasus diatas hanyalah satu diantara sekian banyak problema yang
merupakan akibat atau korban kesalahan pendidikan. Saya yakin masih banyak
kasus-kasus senada yang terjadi, tetapi tidak kita dengar. Salah satu
contoh kecil ialah, banyak sekali ibu-ibu yang mempraktekkan resep kue
dari buku luar negeri tidak berhasil tanpa diketahui dimana kesalahannya.
Karena ini kesalahan pendidikan, masalah ini sebenarnya merupakan masalah
nasional pendidikan kita yang mau tidak mau harus segera dihentikan.
Departemen Pendidikan tidak perlu malu dan basa-basi diplomatis mengenai
hal ini. Mari kita pikirkan dampaknya bagi masa depan anak-anak Indonesia.
Berikan teladan kepada bangsa ini untuk tidak malu memperbaiki kesalahan.
Sekalipun hanya untuk pelajaran di sekolah, dalam hal Takar-Timbang-Ukur,
Dep. Pendidikan tidak memiliki supremasi sedikitpun terhadap Direktorat
Metrologi sebagai lembaga yang paling berwenang di Indonesia. Mari kita
ikuti satu acuan saja, yaitu Direktorat Metrologi.
Era Globalisasi tidak mungkin kita hindari, dan karena itu anak-anak kita
harus dipersiapkan dengan benar. Benar dalam arti landasannya, prosesnya,
materinya maupun arah pendidikannya. Mengejar ketertinggalan dalam hal
kualitas SDM negara tetangga saja sudah merupakan upaya yang sangat
berat. Janganlah malah diperberat dengan pelajaran sampah yang justru
bakal menyesatkan. Didiklah anak-anak kita untuk mengenal dan mengikuti
aturan dan standar yang berlaku SAH dan DIAKUI secara internasional, bukan
hanya yang rekayasa lokal saja. Jangan ada lagi korban akibat pendidikan
yang salah. Kita lihat yang nyata saja, berapa banyak TKI diluar negeri
yang berarti harus mengikuti acuan yang berlaku secara internasional.
Anak-anak kita memiliki HAK untuk mendapatkan pendidikan yang benar
sebagai upaya mempersiapkan diri menyongsong masa depannya yang akan penuh
dengantantangan berat.
ACUAN MANA YANG BENAR ?
Banyak sekali literatur, khususnya yang dipakai dalam dunia tehnik, dan
juga ensiklopedi ternama seperti Britannica, Oxford, dll. (maaf, ini bukan
promosi) menyajikan tabel-tabel konversi yang tidak perlu diragukan lagi.
Selain pada buku literatur, tabel-tabel konversi semacam itu dapat
dijumpai dengan mudah di-dalam buku harian / diary/agenda yang biasanya
diberikan oleh toko atau produsen suatu produk sebagai sarana promosi.
Salah satu konversi untuk satuan berat yang umum dipakai SAH secara
internasional adalah sistem avoirdupois / avdp. (baca : averdupoiz).
1 ounce/ons/onza = 28,35 gram (bukan 100 g.)
1 pound = 453 gram (bukan 500 g.)
1 pound = 16 ounce (bukan 5 ons)
Bayangkan saja, bagaimana jadinya kalau seorang apoteker meracik resep
obat yang seharusnya hanya diberi 28 gram, namun diberi 100 gram. Apakah
kesalahan semacam ini bisa di kategorikan sebagai malapraktek ?
Pelajarannya memang begitu, kalau murid tidak mengerti, dihukum !!!
Jadi, kalau malapraktik, logikanya adalah tanggung jawab yang mengajarkan.
(ini hanya gambaran / ilustrasi salah satu akibat yang bisa ditimbulkan,
bukan kejadian sebenarnya, tetapi dalam bidang lain banyak sekali terjadi)
KALAU BUKAN KITA YANG MENYELAMATKAN – LALU SIAPA ?
Melalui tulisan ini saya ingin mengajak semua kalangan, baik kalangan
pemerintah, akademis, profesi, bisnis / pedagang, sekolah dan orang tua
dan juga yang lainnya untuk ikut serta mendukung penghapusan satuan “ons
dan pound yang keliru” dari kegiatan kita sehari-hari. Pengajaran system
timbang dgn. satuan Ounce dan Pound seharusnya diberikan sebagai
pengetahuan disertai kejelasan asal-usul serta rumus konversi yang benar.
Hal ini untuk membuang kebiasaan salah yang telah melekat dalam kebiasaan
kita, yang bisa mencelakakan / menyesatkan anak-anak kita, generasi
penerus bangsa ini.
# # # # #
Tulisan ini akan dikirimkan kepada media masa, baik cetak maupun
elektronik yang mau menyiarkannya demi kepentingan bangsa. Dipersilahkan
mengubah formatnya sesuai dengan ketentuan penyiaran masing-masing.
Juga kepada sekolah-sekolah, pabrik-pabrik serta LSM dan masyarakat umum,
untuk diketahui secara luas.
Bila anda merasa sependapat dengan saya, setuju untuk menghentikan
kesalahan ini demi masa depan anak bangsa Indonesia, silahkan diperbanyak
/ difoto copy dan disebar-luaskan sendiri.
Bila anda ragu-ragu terhadap kebenaran tulisan ini, silahkan menanyakannya
langsung kepada Direktorat Metrologi atau Balai Metrologi setempat dikota
anda berada.
Terima kasih saya ucapkan kepada anda yang peduli dan mau berpar-tisipasi
menyelamatkan masa depan anak-anak Indonesia. Semoga Tuhan memberkati
upaya ini, yang kita lakukan dengan tulus ikhlas tanpa pamrih sedikitpun.
# # # # #
Ditengah orang-orang waras, dia yang lain sendiri dianggap gila. Ditengah
orang-orang gila, dia yang waras justru dianggap gila. Memang banyak orang
yang benar, tetapi jangan diartikan bahwa yang diikuti banyak orang itulah
yang pasti dan selalu benar.
LEMBAR PELENGKAP TAKAR – UKUR – TIMBANG MENGIKUTI SISTEM METRIK YANG BERLAKU SEJAK THN 1799
Kuantitas Satuan Simbol Keterangan Panjang meter m Bukan mtr Luas meter persegi  m2 Isi meter kubik m3 Berat gram g Bukan gr Takaran liter l 1 l = 1.000 cm3 (cc)
Suhu derajad Celcius ºC
BEBERAPA SEBUTAN / AWALAN UNTUK FAKTOR PENGALI DALAM SISTEM METRIK
Awalan Faktor Pengal Simbol / Singkatan
Contoh Pemakaian
Giga 1.000.000.000 G GHz
mega 1.000.000 M MW
kilo 1000 k km
hecto 100
h ha
deka 10 da dam
deci 0,1 d dm
centi 0,01 c cm
mili 0,001 m ml
micro 0,000.001 μ
μF
dan seterusnya.
Dalam sistem metrik memang dikenal 1 are = 100 m2 khusus untuk ukuran
tanah yang diakui sah secara internasional.
Untuk satuan ONS yang mengartikan kelipatan 100 g., apalagi POUND yang
mengartikan kelipatan 500 g., tidak pernah ada didalam sistem metrik
maupun non-metrik / imperial yang pernah diberlakukan sah secara
internasional.


Saturday, September 28, 2013

Mengubah BeTe (BORED TIME) menjadi Best Time

Istilah BeTe bukan istilah yang asing didengar di telinga kita. Tidak jarang BeTe diartikan sebagai kondisi perasaan yang sedang galau, suntuk, tidak bergairah tidak semangat, dan lain lain. Nah pertanyaannya dari kata apa Bete itu sebenarnya? Istilah BeTe yang paling masuk akal dan mendekati arti Bete seperti yang kita tahu adalah Bored Totally atau Bosan Total. Akan tetapi, kata Bete juga mempunyai arti yang lebih luas dari kata “bosan yang sangat”. Dari sudut pandang psikologi, kata Bete adalah kependekan dari Below Temper yang berarti:
Below = Under
Temper = a characteristic (habitual or relatively temporary) state of feeling
Below Temper berarti kondisi dibawah perasaan normal.

Kata Below Temper populer di radio sekitar tahun 1999 – 2000. Seiring perjalanan waktu dan hobi orang indonesia yang suka sekali menyingkat nyingkat kata maka kata Below Temper lebih dikenal sebagai BeTe. Antonim dari Below Temper adalah High Temper Bisa diartikan kondisi seseorang yang sedang ingin marah, atau lagi uring uringan atau yang suka marah marah. Marah yang dikuasai oleh pikiran-pikiran negatif. Bayangkan bagaimana kondisi psikologis seseorang yang dikuasai oleh pikiran negatif. Anda tahu? Pikiran negatif menjadi penghalang seseorang untuk memberikan kinerjanya yang terbaik. Semangat bekerja menjadi menurun jika otak kita dipenuhi pemikiran-pemikiran yang negatif baik secara sadar maupun tidak sadar. Mengapa bisa begitu? Hal ini disebabkan oleh karena pikiran-pikiran yang negatif akan menciptakan emosi yang mendemotivasi. Perasaan malas, takut, cemas, kesal, bad mood atau bete, dan seterusnya akan menekan motivasi seseorang dan merusak kemampuannya dalam berkomunikasi. Bagaimana seseorang bisa begitu di dominasi oleh pikiran negatif dan bisa jadi berada dalam kondisi Below Temper?

Beberapa penelitian di dalam bidang psikologi dan neurosains menunjukkan bahwa serabut saraf yang menghubungkan sistem limbik ke korteks jauh lebih banyak daripada sambungan ke arah sebaliknya. Ini menunjukkan betapa emosi sangat berpengaruh dalam pemikiran dan membuat keputusan dalam bertindak. Maka dari itu, kita mesti bisa mengendalikan emosi kita agar selalu mendukung kesuksesan. Emosi kita harus mampu memacu semangat dengan optimisme yang tinggi dan membangun antusiasme dalam bekerja. Emosi yang positif harus dapat dikultivasi sesuai kebutuhan. Emosi yang positif akan memampukan kita untuk berkomunikasi secara lebih baik, bertindak dengan penuh keyakinan diri, dan termotivasi untuk memberikan kinerja yang terbaik. Dan tubuh kita bereaksi terhadap perasaan-perasaan yang kita alami.

Ketika kita sedang merasa senang, kita tersenyum lebar, berjalan dengan tegap, bahkan melebarkan postur tubuh dengan tangan kita. Sebaliknya, saat kita merasa bete atau terpuruk maka dunia serasa suram dan membuat kita membungkuk atau ingin meringkuk. Berita baiknya, ternyata jalan saraf yang menghubungkan emosi dengan postur tubuh kita itu berjalan dua arah. Kita bisa merubah perasaan kita dengan mengubah postur tubuh, gerakan atau aksi, hingga dengan mimik muka. Bayangkan, bahkan ekspresi muka kita memiliki kuasa terhadap emosi kita! Peneliti bernama David Havas di tahun 2010 menemukan bahwa para partisipan dalam suatu studi dapat mempengaruhi emosi dengan mimik muka. Orang-orang yang diinstruksikan untuk tersenyum akan merasa sulit untuk marah-marah. Dan sebaliknya, para peserta yang disuruh merengut akan susah untuk merasa ramah dan berbahagia. Salah seorang peneliti lainnya bernama Amy Cuddy, mengamati bagaimana postur tubuh dapat mempengaruhi proses kimiawi di dalam tubuh dan reaksinya pada otak manusia. Waktu seseorang duduk atau berdiri dengan tubuh yang terbuka, tangan mengembang, kaki melebar, maka produksi testosteron meningkat dan hormon stres menjadi berkurang. Dalam penelitian lainnya, ketika para partisipan dipaksa tersenyum dengan menjepit pensil menggunakan gigi, mereka merasakan kerangka berpikir yang lebih positif. Jadi, kita harus memperhatikan bagaimana mimik muka, postur tubuh, dan gerakan fisik agar bisa mempengaruhi emosi secara lebih bermanfaat bagi motivasi diri.Kita juga bisa merileksasikan otot-otot di wajah kita agar merasa lebih tenang. Kita lambatkan nafas dengan menarik nafas dan menghembuskannya dalam-dalam untuk menurunkan tekanan darah serta mengurangi detakan jantung. Dan berjalan kaki selama 20 menit di pagi atau sore hari ternyata dapat meningkatkan mood kita secara positif. So, Bad Time, Below Temper, Bored Time atau apapun itu bisa diubah menjadi Best Time, dimana kita mampu menunjukkan performa hidup yang maksimal. Enjoy aja !

Salam bahagia ! Bahagia itu, menyehatkan jiwa, mensejahterakan hidup !

Bright Child vs Gifted Child

Oleh. Julia Maria van Tiel

Nyatanya buku-buku yang membahas masalah anak cerdas lebih banyak membahas gifted children, bukan  bright children. Padahal keduanya tergolong anak cerdas. Jadi saat mana saya diminta memberikan pelatihan guru ada yang ikut dari sekolah yg punya kelas aksel, waktu kutanya: ada masalah pada murid2nya? Jawabnya tidak.

Orang pun menjadi heran mengapa justru tidak ada masalah? Padahal aku ribut terus, jadi kenapa Bu Julia ribut melulu....???

Gifted children umumnya memang tidak terdampar di kelas aksel sebagaimana di Indonesia, karena seringkali dalam pemilihan ia tidak mendapatkan nominasi. Alasannya, ada angka merahnya di salah satu mata ajaran sekalipun ada angka yang sangat baik, jadi angkanya tidak merata baik. Tentu yang begini tidak bisa masuk ke kelas aksel.
Hasil tes nya tidak jelas, dasarnya memang sulit diberi tes inteligensi konvensional.
Dua prasyarat itu saja sudah menjatuhkan dirinya.

Namun bright child jika diberi pendidikan macam kelas aksel, memang cocok, karena gaya belajranya sangat terstruktur, stappenplan (tahap bertahap), dan klasikal. Bisa diatur, dapat mengikuti program, dapat berkomunikasi dengan baik, tidak mudah menyeleweng. Karena itu cerdas kelompok ini tidak akan banyak di bahas masalahnya, kecuali strategi pendidikannya saja.

Berbeda dengan gifted children yang tukang ngelamun, jika diajak bicara doordenken (keterusan) dan nyambung kemana-mana, tak bisa diperintah, sulit bekerjasama, maunya sendiri, orang selalu menyatakan otaknya ribet....

Saya hanya mau cerita, ada kisah bright child yang masuk ke sekolah khusus gifted children, tapi tidak sukses akhirnya harus dipindah ke sekolah umum.

Alkisah, Joey adalah temen anakku sejak plegrup. Keduanya orang tuanya meninggal kecelakaan saat ia masih sangat kecil, bayi. Ia tak mengenal kedua orang tuanya, karena sejak bayi ia kemudian diasuh kakek-neneknya. Joey kecil tukang nangis, dan badannya kecil sekali. Tapi kulihat sejak puber perkembangannya cukup baik. Tapi di sekolah dasar Joey terkenal anak yang sangat pandai, rajin, kooperatif, dan selalu mendapatkan angka baik. Berbeda dengan anakku yang talulit dan saya selalu mendapatkan panggilan guru karena angka anakku samaunya, kadang 10 kalau gak mau ya dapat 2,3,4.  Apalagi ia mengalami keterlambatan bicara.

Saat masuk ke sekolah lanjutan, Joey mulus masuk ke sekolah khusus gifted, gymnasium, sedang anakku melandas di kelas kejuruan dasar selama satu tahun. Alhamdullilah akhirnya bisa dipindah ke sekolah umum dengan pendekatan onderwijs op maat namanya. Jelasnya inklusi. Mulanya ia ditaruh di kelas dengan anak-anak yang mempunyai beragam masalah, lalu dipindah ke kelas biasa dengan pendekatan akselerasi untuk mata ajaran yang dia sukai seperti matematika, kimia, fisika, dan biologi. Untuk mata ajaran ini ia mengerjakan tugas yang lebih jauh daripada teman-temannya. Sisanya selevel dengan yang lain.

Kembali kepada Joey, tahun pertama di gymnasium ia hampir merah semua, lalu ditawarkan untuk dipindah ke kelas biasa seperti anakku tetapi mendapatkan layanan khusus. Tetapi kakeknya menolak, biarkan ia tidak naik kelas asalkan bisa di gymnasium dan mudah-mudahan akan melanjut terus. Tetapi sayangnya di tahun ajaran ke dua angkanya nyaris merah semua, jadi akhir tahun ajaran ini ia harus mencari lagi, sekolah lain yang bisa menerima. Entah lagi di kelas satu, atau kelas dua dengan level yang lebih rendah.

Aku kasihan sekali padanya. Nampaknya ia memang kurang sesuai di kelas gifted. Bukan karena inteligensinya pas-pasan, tetapi karena strategi belajarnya tidak cocok. Kelas gifted lebih banyak mengandalkan analisa dan pemecahan masalah. Sementara bright child dalam hal analisa dan pemecahan masalah memang kurang sekuat gifted child.

Nampaknya orang tua juga perlu mempelajari bagaimana karakteristik inteligensi anak jika ingin memilihkan bentuk sekolah baginya, bukan hanya tergantung dari angka raport. Jangan sampai apa yang kita pilihkan hanya merugikan dirinya saja.


Anak Mengalami Gangguan Belajar : Sensory Integrasikah Solusinya?

Oleh. Julia Maria Van Tiel

Sungguh sangat menarik perkembangan di Indonesia di akhir-akhir ini. Setiap acara diskusi dimanapun, aku dihadapkan pada pertanyaan akan kenyataan bahwa anaknya diminta terapi sensori integrasi. Apapun itu, mulai dari terlambat bicara, ADHD, autisme, global development delayed, sampai masalah-masalah gangguan belajar.

Bahkan, suatu kali jalan-jalan di suatu rumah sakit besaaar sekali di bilangan Jakarta, mata saya tertumbuk pada papan nama seorang dokter spesialis rehabmedik dengan penjelasan: Merehabilitasi gangguan anak: membaca, menulis, dan berhitung.

Sungguh hati saya terenyuh luar biasa, ini rakyatku Indonesia jelas tengah dipermainkan oleh (terus terang) kelompok yang benar-benar sudah melenceng.

Kuambilkan contoh:
Seorang ibu bercerita padaku bahwa anaknya yang belum bicara itu sungguh sangat aktif, banyak gerak dan kelihatan seolah gangguan konsentrasi. Anak dianjurkan tidak terapi wicara tetapi terapi Sensory Integration sampai anak bisa konsentrasi. Kutanya pada ibu itu, sampai kapan? Kalau anak itu ternyata memang gangguan konsentrasi karena ADHD yang notabene adalah cacat neurologis maka sampai kapan ia mampu konsentrasi dengan baik? Si Ibu terpana melihatku....

Suatu malam aku diundang sebuah diskusi yang sungguh berat, yang antara lain menyatakan bahwa masalah-masalah gangguan di otak memang sel-selnya tidak dapat diperbaiki lagi, tetapi dapat disubstitusi dengan memperbaiki masalah sensorinya, sehingga si anak dapat belajar. 
Oo wat een wanderfull world!!!

Informasi yang masuk ke otak memang melalui organ sensoris dibantu oleh kemampuan motoris. Tetapi proses belajar bukan cuma itu. Masih banyak perangkat lain di otak yang harus digunakan dalam suatu proses belajar, yaitu kemampuan memori yang baik, baik memori yang jangka panjang dan jangka pendek. Kemampuan pengintegrasian informasi yang masuk lalu diproses menjadi sebuah informasi baru yang dapat menjadi bahan perluasan informasi yang berada di dalam memori. Kemampuan pemaknaan informasi yang masuk dari sensori baik visual, auditori dan taktil, pengecapan dan penciuman, dibumbui dengan kemampuan dimensi, menjadi suatu informasi baru yang mempunyai kedalaman persfektif dan pemecahan masalah. Hemisfer atau belahan otak kiri dan kanan akan membantu mengolah dengan cara melakukan pemrosesan informasi dalam bentuk analisa (menguraikan informasi) maupun sintesa (memadukan informasi). Otak akan menyampaikan bentuk informasi baru tadi ke dalam memori jangka panjang dan mengolahnya menjadi suatu bentuk pemecahan masalah.
Dalam hal ini si individu juga perlu dibekali dengan perkembangan kemampuan kreativitas berfikir, sehingga semua info yang masuk tadi dapat berkembang sesuai dengan konteksnya. 
Dalam proses ini faktor konsentrasi, intuisi, kecepatan berpikir, dan emosi akan juga senantiasa membantu. 

Hal di atas ini adalah dasar manusia dalam proses belajar. Sehingga apabila gangguan sensori dan motor yang diperbaiki, namun apabila masih ada gangguan di otak – jelas proses belajar tetap tidak dapat berlangsung dengan baik.

Masalah gangguan sensorik dan motorik memang dapat menjadi masalah dalam proses belajar. Karena sensorik dan motorik adalah salah satu komponen yang mendukung pembelajaran, tetapi bukan masalah primer dalam gangguan belajar. Masalah primer pada gangguan belajar adalah gangguan neurologis di otak itu sendiri, yang hingga kini para ahli belum bisa menjelaskan bagaimana mekanismenya. 
Cara-cara pendeteksian dan pengukurannya juga masih menggunakan tes-tes didaktik, bukan tes-tes objektif dengan penciteraan otak misalnya.

Pada semua anak berkekhususan memang akan diikuti dengan masalah sensorik dan motorik (Senso-motor). Tetapi gangguan senso-motor yang menyebabkan gangguan pada sensory integration (sering disebut Sensory Integration Disorder), bukan entity sebuah diagnosa, tetapi adalah gangguan yang menyertai (komorbiditas) gangguan-gangguan ataupun masalah perkembangan neurologik seperti misalnya: dysphasia/speech delayed, ADHD, autisme, learning disabilities, dlsb.
Sehingga dalam hal ini yang menjadi masalah primernya adalah diagnosanya itu, bukan gangguan yang menyertainya/komorbiditas (senso-motor).

Dengan demikian, andaikan hanya dengan senso-motor diperbaiki dengan sendirinya tidak dapat mengatasi masalah-masalah yang diakibatkan oleh adanya gangguan neurologis tadi. Juga perbaikan sensori-motor tidak mungkin dapat mensubtitusi atau mengganti proses pembelajaran yang terhambat akibat adanya gangguan neurologis itu.

Kita ambilkan contoh pada autisme. Autisme adalah sosok yang mengalami masalah dalam kemampuan bahasa non-verbal, keterbatasan kreativitas berpikir – sehingga ia mengalami gangguan konteks (contexblindness) yang berakibat pada masalah dalam proses bejalar pemecahan masalah. Akibatnya adalah sekalipun senso-motor diperbaiki tetapi masalah autismenya masih ada, dengan demikian ia juga akan tetap mengalami gangguan belajar. 

Masalah sensorik dan motorik memang harus kita upayakan – diperbaiki. Tapi jangan mengharap masalah senso-motor ini akan hilang. Yang hanya bisa kita upayakan adalah mengajarkan bagaimana sensor dan motor bekerja, mengurangi sensitivitas dengan mengajarkan bagaimana mengahadapi hal-hal yang mengganggunya itu. Sehingga ia akan menjadi lebih trampil, sekalipun masalah senso motor dan gangguan belajarnya masih ada karena gangguan neurologisnya memang merupakan long live disabilities.

LD (learning disabilities: disleksia, disgrafia, diskalkulia) adalah gangguan neurologis yang primer dan ekslusif (tidak menyebabkan gangguan gangguan lain dan bukan disebabkan oleh gangguan lain). Pada anak-anak yang mengalami gangguan perilaku dan mental yang disebabkan karena gangguan neurologis akan juga diikuti LD sebagai gangguan yang mengikutinya (komorbiditas). 

(Catatan: pernyataan saya bukan menghantam Profesi Okupasi – tetapi Profesi Okupasi hendaknya juga memerangi orang-orang yang memanfaatkan bidang garapannya secara tidak benar!).


Monday, September 23, 2013

Sistem Pendidikan yang Membebaskan melalui Children Activity Center ( CAC )

Oleh. Yuria Ekalitani, C.Ht, MT.OEI, M.Si, M.Psi (Cand)

Konsep pendidikan yang membebaskan diusung oleh Paulo Freire [1]. Di Indonesia, relevansi pendidikan pembebasan Paulo bukan semata karena ada kebutuhan akan evaluasi dan refleksi terhadap penerapannya selama ini tetapi juga pada kenyataan bahwa konsep pendidikannya ini masih marjinal dalam sistem pendidikan Indonesia . Konsep pendidikan “ gaya bank “ , metode “ hadap masalah “, “ kontradiksi guru-murid “ yang merupakan problem elementer sekaligus klasik dalam konsep pendidikan freirean masih sangat asing dan banyak disalahartikan. Oleh sebab itu, muncul beberapa pertanyaan yang menarik untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana sebenarnya sistem pendidikan yang membebaskan tersebut. Bagaimana sebenarnya pembelajaran yang membebaskan itu? Bagaimana seorang pendamping harus mengubah dirinya menjadi pendidik yang membebaskan? Bagaimana mereka dapat mentransformasikan peserta didik?
Pada pendidikan yang membebaskan, tidak ada teknis khusus untuk memperoleh keaksaraan, pengalaman atau keterampilan professional atau bahkan kemampuan berpikir kritis. Yang terpenting adalah membangun pendidikan dialogis yang akan mampu membuat seseorang untuk tahu dan bukan semata-mata pengalihan pengetahuan atau semata-mata teknik menguasai alfabet. Pengajaran yang membebaskan akan mencerahkan realitas dalam pengertian mengembangkan kerja intelektual yang serius[2] sehingga dengan kata lain, pendidikan yang membebaskan bukan panduan atau teknik cerdas melainkan suatu perspektif cerdas tentang sekolah, masyarakat dan belajar untuk transformasi sosial. Pendidikan yang membebaskan adalah situasi dimana guru dan siswa sama-sama harus belajar, sama-sama memiliki subyek kognitif, selain juga sama-sama memiliki perbedaan.
Para pendamping di CAC yang kemudian kami sebut sebagai caregiver setidaknya memiliki kesempatan untuk menerapkan pola pendidikan yang membebaskan. Berbeda dari sekolah-sekolah formal dimana guru dan siswa hanya mempunyai sedikit peluang untuk membangun kelas yang membebaskan. Program pelatihan di sekolah formal biasanya tradisional dan jarang melakukan eksperimen-eksperimen. Padahal dengan model eksperimen, anak akan didorong untuk dapat belajar secara experience learning[3] atau belajar dari pengalaman. Metode ini dianggap sebagai metode yang akan menyenangkan bagi anak-anak putus sekolah yang berkegiatan di CAC karena dengan metode experience learning, anak-anak ini akan diajak untuk belajar sambil mempraktekkan sesuatu dan mengambil pelajaran yang bermakna dari yang sudah mereka lakukan.
Hal senada diungkapkan pula oleh John Dewey ( 1859 – 1952 ), seorang pakar pendidikan sekaligus folosof yang menggagas pengalaman sebagai basis pendidikan. Pengalaman menurut Dewey merupakan keseluruhan kegiatan dan hasil yang kompleks serta bersegi banyak dari interaksi aktif manusia sebagai makhluk hidup yang sadar dan bertumbuh dengan lingkungan di sekitarnya yang terus berubah dalam perjalanan sejarah. Selaras pula dengan pandangan pragmatis  pada umumnya, bagi Dewey, subyek didik bukanlah pribadi yang pasif. Ia adalah manusia, mahkluk hidup yang bertumbuh kembang dengan dan dalam interaksi secara aktif terhadap lingkungan hidup di sekitarnya. Sehingga dalam kaitannya dengan pendidikan, Dewey menyebutkan bahwa pendidikan merupakan suatu proses penggalian dan pengolahan pengalaman terus menerus. Untuk itu, pendidikan mesti berpusat pada kondisi konkret subyek didik dengan minat, bakat dan kemampuannya serta peka terhadap perubahan yang terus menerus terjadi dalam masyarakat. Pendidik haruslah senantiasa siap sedia dengan metode yang selalu disesuaikan dengan perubahan jaman. [4]
Selama ini yang masih sering terjadi di Indonesia adalah teknik mengajar dengan ceramah. Metode ceramah menjadikan pendamping sebagai otoritas yang mengalihkan pengetahuan yang tetap kepada siswa. Pengetahuan telah dibentuk dan secara verbal disampaikan kepada siswa. Para siswa dalam system pendidikan tradisional diharapkan mampu menyerap formulasi yang telah disusun dan diucapkan oleh guru. Sebaliknya keterbukaan pendamping secara dialogis akan mampu menjadikan proses belajar yang demokratis. Sistem demokratis ini merupakan sistem yang membebaskan dibandingkan gaya tradisional. Sistem ini juga yang kemudian coba untuk diterapkan dalam pola pendampingan di CAC, dimana anak-anak putus sekolah yang menjadi target recipient untuk program ini membangun komunikasi dan dialog yang mengembangkan melalui kurikulum yang telah disusun sendiri oleh para caregiver untuk melaksanakan kegiatan yang dilakukan seminggu dua kali akan tetapi sekaligus sebagai panduan yang tidak bersifat kaku untuk diterapkan. Sistem pendidikan yang seperti ini diharapkan mampu menarik minat anak-anak untuk belajar keterampilan hidup ( life skill ) dengan harapan akan mampu membekali mereka dengan keterampilan untuk bertahan hidup dan tujuan lebih jangka panjangnya adalah untuk mampu memutuskan lingkaran kemiskinan terutama di daerah-daerah yang masih minim kualitas pendidikannya.

 DAFTAR PUSTAKA
[1] Tokoh pendidikan. Bukunya Paedagogy of The Oppressed telah menjadi bacaan klasik. Di Indonesia konsep pendidikannya terutama banyak diterapkan di kalangan NGO.
[2] Shor, Ira & Freire, Paulo. Pedagogy for Liberation. 1987. Bergin & Gavery Publiser, Inc : Massachusetts.p.21. Bedakan terjemahan buku tersebut yang diterbitkan tahun 2001 dengan judul ‘ Menjadi Guru Merdeka “ penerbit LKiS, Yogyakarta.
[3] Model experiential learning ini yang juga kemudian diterapkan dalam sistem pendidikan bagi anak-anak putus sekolah di CAC. Model ini akan mampu menarik minat mereka untuk belajar dibandingkan dengan belajar melalui metode tradisional di sekolah karena anak-anak diajak untuk belajar sambil bermain.
[4] Dewey, John. Experience and Education : Pendidikan berbasis pengalaman.Alih Bahasa : Hani,ah. 2004.Mizan Media Utama : Bandung. Hal. 9 – 18.






Sunday, September 22, 2013

Mendidik Anak dengan Kekerasan : Bukan Solusi !

Anak adalah jendela masa depan bangsa. Masa depan bangsa yang cerah akan dapat terwujud apabila anak selaku generasi penerus mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara wajar dan mampu memaksimalkan segala potensi yang dimilikinya. Kenyataannya di dalam masyarakat kita masih terdapat anak-anak yang mengalami hambatan untuk memaksimalkan segala potensi yang mereka miliki dan bahkan tidak jarang sebagian besar dari mereka bahkan mengalami kekerasan dari orang dewasa, pemanfaatan seksual serta berbagai masalah yang melanggar haknya sebagai manusia.

Beberapa media pernah memunculkan berita mengenai kekerasan yang seringkali dialami oleh anak-anak. Simak saja peristiwa baru-baru ini yang diangkat oleh sebuah stasiun televisi swasta mengenai seorang ibu yang tega menganiaya anaknya karena si anak tidak mau menurut dan juga kasus penganiayaan yang dilakukan oleh seorang guru agama di suatu Sekolah Dasar terhadap seorang murid lantaran murid tersebut tidak membawa buku yang diminta oleh sang guru. Juga peristiwa penganiayaan yang lagi-lagi dilakukan oleh oknum guru yang tidak bertanggung jawab terhadap seorang bocah yang menyebabkan si anak harus kehilangan nyawanya. Masalahnya sepele, lantaran si bocah tidak mengerjakan PR dan kelalaiannya harus dibayar dengan nyawanya. Sungguh tragis memang. Siapakah anak itu? Punya kekuatan sebesar apakah mereka hingga mereka “ dipantaskan “ untuk mendapat perlakuan sedemikian rupa.

Pendahuluan Konvensi Hak-hak anak ( KHA ) yang dicetuskan oleh PBB dalam Convention on The Right of Child ( CRC ) menyatakan bahwa anak-anak belum matang baik secara fisik maupun mental. Hal ini menyadarkan kita bahwa mereka perlu mendapatkan perhatian dan perlindungan. Anak-anak merupakan individu yang seharusnya dilindungi dari bahaya maupun ancaman. Dalam hubungannya dengan orang dewasa, anak selalu berada dalam posisi lemah. Ketergantungan anak pada orang dewasa pada umumnya berkesesuaian dengan pandangan tradisional tentang orang tua selaku pengasuh wajib dihormati sehingga menyebabkan pengasuh itu mempunyai otoritas terhadap anak dan hal ini mengkondisikan anak-anak menjadi korban kekerasan. Anak mungkin hanya diam ketika ia mengalami kekerasan tapi siapa yang tahu jika di dalam hatinya ia menangis.

Sebenarnya, seperti apa yang dimaksud dengan kekerasan pada anak tersebut? Kekerasan pada anak , disadari atau tidak, segala bentuk kekerasan pada anak bisa membawa dampak pada diri mereka baik secara fisik, psikologis, moral maupun sosial. Anak yang dididik dengan kekerasan secara fisik bisa saja mengalami luka di sekujur tubuhnya dan dampak secara psikologis menjadi anak yang tidak berani mengambil keputusan karena takut disalahkan terus, menjadi anak yang tidk percaya diri, mudah depresi, cemas dan kehilangan harga diri. Secara moral, cenderung berperilaku untuk melanggar undang-undang, berperilaku agresif, perilaku anti sosial, kasar dan kejam. Dalam hubungannya dengan lingkungan sosial, anak yang seringkali dididik dengan kekerasan, seringkali enggan mengambil peran dalam kegiatan bersosial di masyarakat, suka menyendiri bahkan bersikap anti sosial.

Berbagai dampak di atas tentunya tidak kita inginkan. Bagaimanapun juga anak adalah jendela masa depan bangsa. Tetapi pada prakteknya, mendidik anak bukanlah hal yang mudah apalagi bila anak tersebut tergolong anak yang sulit diatur sehingga kekerasan seakan menjadi suatu jawaban yang paling efektif untuk bisa mendisiplinkan anak. Bagaimanapun juga, kekerasan sebenarnya bukanlah jawaban yang tepat untuk mendisiplinkan anak. Jika orangtua terlanjur memukul anak, segeralah peluk anak itu dan terangkan kepadanya kenapa ia dipukul dan katakan apa yang anda harapkan kepadanya untuk ia patuhi. Selalu berikan kepada anak penjelasan terhadap segala hal yang anda lakukan agar anak tahu mengapa ia dimarahi dan tahu apa yang kemudian harus ia lakukan.

Mendidik anak dengan kekerasan sekali lagi bukan jawaban yang bisa membuat anak menjadi lebih baik. Karena segala bentuk kekerasan yang mereka alami akan membawa luka yang akan terbawa hingga mereka dewasa. Biarlah anak hidup dan bisa menikmati hak mereka yakni hak untuk hidup, hak untuk tumbuh dan berkembang, hak mendapatkan perlindungan dan juga hak untuk mengutarakan pendapatnya.

Kita semua tentunya berharap kejadian guru yang memukul muridnya hingga si murid meninggal, atau kasus ibu yang menganiaya putranya hingga cacat tidak lagi terjadi. Anak adalah masa depan bangsa dan tugas kita bersama untuk mempersiapkan mereka menjadi generasi penerus bangsa yang matang dan berpotensi. Hentikanlah mendidik anak dengan kekerasan. Mulai dari sekarang.

Yuria Ekalitani, C.Ht, MT.OEI, M.Si, M.Psi (Cand)





APPLIED BEHAVIORAL ANALYSIS ( ABA )

APPLIED BEHAVIORAL ANALYSIS ( ABA ) :
Sebuah Pendekatan untuk Anak Autis

Oleh : A. Yuria Ekalitani, C.Ht, MT.OEI, M.Si, M.Psi (Cand)

PENGANTAR
ABA adalah sebuah teknik yang digunakan sebagai treatment untuk penderita autis dan biasanya diterapkan pada anak-anak dengan gangguan autis. Terapi ini diberikan dengan maksud untuk melakukan perubahan pada anak autistis dalam arti perilaku yang berlebihan dikurangi dan perilaku yang berkekurangan ( belum ada ) ditambahkan. ABA yang diciptakan oleh O Ivar Lovaas, PhD dari University of California Los Angeles ( UCLA ) memfokuskan penanganan pada pemberian reinforcement positif setiap kali anak berespon benar sesuai dengan instruksi yang diberikan. Tidak ada hukuman dalam terapi ini akan tetapi bila anak berespon negative ( salah / tidak tepat ) atau tidak berespon sama sekali maka ia tidak mendapatkan reinforcement positif yang dia sukai. Diharapkan dengan perlakuan ini dapat meningkatkan kemungkinan anak agar berespons positif dan mengurangi kemungkinan dia berespon negative atau tidak merespon instruksi yang diberikan.

Sesuai dengan namanya, teknik ini berangkat dari teori behavioristik dimana mereka meyakini bahwa perilaku berhubungan dengan system reward ( hadiah / penghargaan ) dan konsekwensi ( akibat ). Berangkat dari pemahaman dasar ini maka teknik ini biasanya digunakan sebagai dasar untuk metode mengajar. Oleh sebab itu, berangkat dari teori ini, Lovaas dan The Lovaas institute mengembangkan teknik ini dan menjabarkannya menjadi beberapa pengertian di bawah ini :

a) Applied
Meletakkan penugasan pada kondisi yang real
b) Behavioral Analysis
Observasi dan analisis yang dilakukan untuk obyek perilaku tertentu dengan tujuan untuk merubah atau menciptakan perilaku baru yang diinginkan.

Sehingga secara ringkas dapat dikatakan bahwa Applied Behavioral Analysis ( ABA ) adalah suatu teknik yang telah disusun secara sistematis untuk mengurangi perilaku yang tidak diinginkan dan meningkatkan perilaku yang diharapkan.

TUJUAN PENANGANAN

Teknik ini diberikan dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman dan kepatuhan anak autis terhadap aturan. Dari terapi ini hasil yang didapatkan signifikan bila mampu diterapkan secara intensif, teratur dan konsisten pada usia dini.

Mengapa Anak Autis ?
Seperti yang sudah ditulis diatas, terapi ini digunakan untuk anak yang autis. Anak autis memiliki gambaran unik dari anak lainnya hal ini menyebabkan perilaku anak autistis berbeda dari perilaku normal

Gambaran Unik Anak Autis
©      Selektif yang berlebihan terhadap rangsangan sehingga kemampuan menangkap isyarat yang berasal dari lingkungan sangat terbatas.
©      Kurang motivasi, bukan hanya sering menarik diri dan asyik sendiri tetapi juga cenderung tidak termotivasi menjelajah lingkungan baru atau memperluas lingkup perhatian mereka.
©      Memiliki respon stimulasi diri tinggi. Mereka menghabiskan sebagian besar waktu untuk merangsang diri sendiri misalnya bertepuk tangan.
©      Memiliki respon terhadap imbalan. Mereka belajar paling efektif pada kondisi imbalan langsung yang jenisnya sangat individual. Namun respon ini berbeda untuk setiap anak autis.

Sumber : Terapi Anak Autis di Rumah, 2003. Widyawati, S; Rosadi, E ; Yulidar. Puspa Sehat :Jakarta. Hal. 24

Dari gambaran di atas maka tampak beberapa perilaku yang tentunya berbeda pada anak normal. Perilaku ini kemudian dapat dijabarkan ke dalam perilaku yang berlebihan, perilaku yang berkekurangan atau bahkan tidak ada sama sekali. Contoh perilaku yang berlebihan ini misalnya mengamuk. Sedangkan perilaku yang berkekurangan contohnya gangguan bicara, perilaku social yang tidak tepat. Semuanya hal di atas tentunya menjadi hal yang serius untuk segera ditangani. Oleh sebab itu, karena berkaitan dengan perilaku, maka teknik ABA inipun diterapkan.

LANGKAH-LANGKAH YANG HARUS DIPERHATIKAN :
a) Target perilaku yang mau dirubah harus jelas dan spesifik.
b) Tujuan jangka panjang dan jangka pendek yang hendak dicapai juga hendaknya jelas dan terarah
c) Perkembangan maupun kemajuan program yang dijalankan dapat terukur.
d) Harus ada pembagian peran yang jelas antara konselor, terapis, orangtua maupun caregiver yang terlibat.

e) Gambaran detail tentang positive maupun negative reinforcement yang akan digunakan.
f) Membuat gambaran yang jelas bagaimana perencanaan dapat digunakan untuk monitoring dan evaluasi demi keefektivan teknik tersebut.

PRINSIP PELAKSANAAN TEKNIK ABA

Prinsip awal pelaksanaan terapi ini adalah dengan meningkatkan kemampuan reseptif atau pemahaman anak autis. Dimulai dengan jumlah latihan yang sedikit untuk beberapa minggu pertama. Cara ini akan membantu terapis untuk terampil pada metode pengajaran dan membantu anak terbiasa pada kegiatan terstruktur.

Secara umum program awal ini meliputi program kesiapan belajar ( misalnya berespon terhadap nama ), program bahasa reseptif ( misalnya mengikuti perintah satu tahap ), program meniru ( misalnya meniru gerakkan motorik kasar ), dan program bahasa ekspresif ( misalnya menunjuk benda-benda yang diinginkan ) dan tugas menyamakan ( misalnya menyamakan benda-benda yang identik ). Ketika anak mengalami kemajuan, tambahkan program baru.

BEBERAPA TEKNIK YANG TERMASUK DALAM ABA
 Task Analysis : Shaping
 Reinforcement : Chaining
 Discrete Trial : Fading
 Prompting: Redirection
 Other: Ignoring

Dari beberapa teknik di atas, teknik yang paling sering digunakan adalah Discrete Trial. Metode Lovaas dengan teknik ABA ini dimulai dengan Discrete Trial ( ujicoba latihan )

Apa Itu Discrete Trial ?
©      Discrete trial adalah teknik khusus yang digunakan untuk memaksimalkan proses belajar.
©      Teknik ini juga dikombinasikan dengan teknik lain dalam pelaksanaan pada terapi ABA seperti prompting, fading, chaining.
©      Teknik ini dapat digunakan pada segala jenis usia dan populasi.
©      Proses yang banyak dikembangkan dalam teknik ini sebagian besar untuk mengembangkan kemampuan berpikir ( kognitif ), komunikasi, bermain, social maupun emosional serta bina diri.
©      Menekankan pada belajar sebagai proses aktif.

Teknik Discrete Trial :
a) Terapis memberi suatu stimulus atau rangsangan berupa instruksi ke anak yang memperhatikan terapis atau tugas di tangannya.
b) Stimulus ini mungkin diikuti oleh prompt untuk menimbulkan respon yang dimaksud.
c) Anak merespon benar/salah atau tidak merespon sama sekali
d) Terapis berespon dengan memberi imbalan atas respon anak yaitu memberi hadiah jika benar dan mengatakan tidak jika salah.
e) Terdapat senggang waktu atau interval singkat sebelum memulai uji coba berikutnya.
                     
Beberapa hal yang ada dalam Discrete Trial ;
1. Instruksi
Instruksi yang diberikan hendaknya singkat, jelas dan konsisten.
Pada tahap awal, kalimat yang digunakan hendaknya berupa kalimat singkat.

2. Respon
Dalam merespon instruksi terapis, anak mungkin melakukannya dengan benar, setengah benar, salah atau tidak merespon sama sekali yang juga dinilai salah.

3. Prompt ( bantuan, dorongan dan arahan )
 Beberapa anak memerlukan tambahan bantuan untuk melakukan keterampilan atau perilaku yang diinginkan.

 Prompt adalah setiap bantuan yang diberikan pada anak untuk menghasilkan respon yang benar.

 Ada beberapa jenis prompt antara lain fisik, contoh, lisan, visual, posisi, ukuran benda, dengan menunjuk.

1. Imbalan / reward
 Terapis harus memiliki pengetahuan yang cukup dari perilaku dengan reward bagi anak autis.
Reward mempunyai dua aspek penting yaitu jenisnya dan bagaimana cara memberikannya.

a. Jenis reward
• Reward positif
Reward yang diberikan setelah suatu perilaku kemudian akan meningkatkan perilaku tersebut

• Reward negative
Anak tidak akan meningkatkan perilaku tersebut

b. Pemadaman ( extinction )

 Pemadaman berarti suatu stimulus yang merupakan suatu imbalan yang tidak lagi diberikan.

 Contohnya : jika selama ini anak mendapatkan perhatian terhadap amukkan ( tantrum ) dan perhatian tersebut sebagai reward positive sehingga anak memelihara tantrumnya maka cara efektif untuk menghilangkannya adalah dengan tidak lagi memberikan perhatian saat anak tantrum.

 Berikut adalah 3 hal penting pada pemadaman :

©      Prinsip pemadaman adalah pengurangan bertahap dari kekuatan perilaku tersebut bukan suatu penurunan tajam dan dramatis seperti ciri hukuman.ü
©      Biasanya, pada awal pemadaman terdapat peningkatan kekuatan perilaku karena anak semakin berusaha mendapatkan kembali imbalan.ü
©      Anak akan lebih kreatif pada usahanya untuk memperoleh perhatian untuk amukkannya.

c. Time out
• Menghilangkan kesempatan untuk mendapatkan imbalan

d. Cara memberikan imbalan
• Imbalan harus tergantung pada perilaku
• Pelaksanaan harus konsisten
• Pemberian imbalan jangan bermakna ganda
• Imbalan harus mudah dibedakan oleh anak

e. Selang waktu pemberian Discrete Trial ( uji coba )
·         Selang waktu uji coba adalah waktu antara reward satu uji coba dan mulainya suatu instruksi untuk uji coba berikutnya
·         Anak yang memperlihatkan banyak perilaku lepas tugas memerlukan selang waktu ujicoba yang pendek agar dapat mengurangi kesempatan untuk terjadinya perilaku tersebut.
·         Selang waktu uji coba ini biasanya berkisar antara 3-5 detik. Hal ini akan membantu anak mengetahui bahwa terapis telah mengakhiri suatu uji coba terakhir dan akan memberikan uji coba yang baru lagi.

Tiga Komponen Penting dalam Discrete Trial :
1. Stimulus Discriminative = SD
2. Respon Anak = R
3. Stimulus Respons = SR



Components of a Discrete Trial

Contoh :
AKTIVITAS A
Skill : Anak diminta oleh terapis untuk memberikan benda yang diminta oleh terapis.
Identifikasi kemungkinan SD, R dan SR yang terjadi :
SD : “ Ambil crayon ! “
R : anak memberikan crayon
SR : “ Wow. Bagus sekali ! “
Jika anak tidak tepat melakukannya tetapi memberikan perhatian :
SR : ‘ Hampir tepat. Ayo coba lagi “
Jika anak melakukannya dengan tepat tapi tanpa memperhatikan terapis
SR : “ Baik. Sekarang lihat saya. “

AKTIVITAS B
Skill : Anak duduk di kursi sesuai perintah
Identifikasi kemungkinan SD, R dan SR yang terjadi :
SD : “ Duduk di kursi itu ‘
R : Anak duduk di kursi
SR : “ Bagus sekali ! “
Jika anak tidak tepat melakukannya tetapi memberikan perhatian :
SR : ‘ Bagus. Kamu sudah mencoba. Ayo coba lagi “
Jika anak melakukannya dengan tepat tapi tanpa memperhatikan terapis
SR : “ Dengarkan. “

GENERALISASI DAN PEMELIHARAAN DARI PERUBAHAN PERILAKU
Karakteristik umum anak autis yaitu tidak mampu menggeneralisasikan keterampilan yang baru dipelajari ke keadaan berbeda dari apa yang terdapat saat latihan. Selama pengajaran awal terapis sering memelihara kendali ketat terhadap instruksi yang diberikan, benda-benda yang ditunjukkan, susunan duduk dan tatanan lainnya.

Biasanya generalisasi dilakukan setelah keterampilan target telah dikuasai. Namun pada anak yang cakap, mungkin generalisasi dapat dimulai ketika keterampilan baru saja muncul. Berikut ini tiga jenis generalisasi :
1. Generalisasi rangsang ( stimulus generalization )
Jika terapi perilaku tetap terjadi sebagai respon dari berbagai rangsang, bisa terjadi di kelas, di rumah, di taman dan di rumah orang lain. Seorang terapis mengajarkan anak agar dapat melakukan suatu perilaku, tetapi anak tidak melakukan perilaku tersebut bagi orang atau terapis lain. Anak belajar merespon beberapa bagian tertentu misalnya gerakkan tangan terapis, tetapi karena bagian ini tidak ada pada keadaan yang lain, perilaku tidak tergeneralisasikan.

Untuk mengatasi hal tersebut, maka langkah-langkah di bawah ini dapat dilakukan :
a) Program rangsang yang sama
Setiap latihan perlu mengandung rangsang yang sama
b) Modifikasi berturutan pada perilaku
Disesuaikan dengan konteks lingkungan tempat dia tinggal.
c) Melatih dengan banyak contoh
Berikan anak beberapa alternative dengan pola yang sama.

2. Generalisasi respon ( respon generalization )

Dalam hal ini yang dapat diperhatikan adalah bahasa, pelajaran meniru dan mengamati, kepatuhan serta penekanan pada perilaku yang tidak sesuai.

3. Generalisasi sepanjang waktu ( pemeliharaan )

Mempertahankan efek dari terapi supaya tetap dikuasai anak sepanjang waktu. Jika keterampilan telah dikuasai anak, generalisasi dan pemeliharaan dapat ditingkatkan secara bertahap dengan mengurangi sedikit demi sedikit frekuensi dan jenis imbalan.

Selama fase ini, frekuensi uji coba latihan dikurangi. Secara umum, pemeliharaan dinilai sekali seminggu selama periode 3-6 minggu.

DAFTAR PUSTAKA
Bettelheim,B. The Empty Fortress : Infantile Autism and The Birth of the Self. New York : Free
Mash J, Wolfe D. Abnormal Child Psychology. 2005. Thomson Learning, Inc : USA
Veskarisyanti, G. 12 Terapi Autis Paling Efektif dan Hemat. 2008. Pustaka Anggrek : Yogyakarta
Widyawati, S; Rosadi, E ; Yulidar. Terapi Anak Autis di Rumah, 2003.Puspa Sehat : Jakarta.